Sabtu, 15 Januari 2011

Misteri Perjalanan Seorang Anak

Masa itu, ketika aku kembali mengingat kisah lamaku. Sebuah kisah dimasa lalu yang menjadi penentu takdir hidupku selanjutnya. Dengan keputusanku saat itu, maka aku pun bisa berada di Kota Yogyakarta sekarang.
“Vina, besok lusa kita pergi ke Yogyakarta”, Ucap ayaku.
“Apa? Jogja? Kita mau ngapain yah?”, tanyaku penuh kebingungan.
“Kamu itu kan sudah lulus SMP nak, ya kita ke sana untuk melanjutkan SMA kamu”, jawab ayahku dengan nada suara yang tetap tenang.
“Enggak! Ibu enggak setuju Yah”, ucap ibu setengah berteriak.
Aku hanya bisa menatap ayah dan ibu bergantian dengan tatapan kosong. Selama ini tidak pernah terbersit dibenakku untuk melanjutkan sekolah ke kota yang jauh dari tempat kelahiranku. Tapi hari itu, ayah membuat keputusan sepihak tanpa membicarakannya dulu pada aku dan ibu. Seketika itu juga, ayah menarik lengan ibu dan membawanya ke kamar. Aku bisa mendengar perdebatan sengit mereka kala itu, teriakan yang bersahut-sahutan tanpa ada yang mau mengalah. Aku tak sanggup mendengar pertengkaran mereka, aku pun berlari kencang meninggalkan rumah.
***
Malam itu aku tak henti-hentinya menangis, besok aku dan ayah akan terbang ke Jogja. Tapi sampai saat itu pun, aku belum mengemasi barang-barangku. Bagaimana tidak? Semenjak pertengkaran itu, ibu tidak mau berbicara sepatah katapun padaku dan ayah. Ibu mengunci dirinya di kamar seorang diri seharian penuh. Aku berberapa kali mencoba mengetuk pintunya, tapi hanya sayup-sayup isak tangis ibu yang terdengar.
***
Baru kala itu aku merasakan malam yang begitu panjang, sampai akhirnya terdengar suara adzan subuh di masjid dekat rumahku. Dengan penuh khidmat, aku menikmati setiap lantunan ayat-ayat-Nya.
“Vina! Apa barang-barangmu sudah siap nak? “, tanya ayah sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya yah…”, jawabku dengan suara setengah parau.
Dengan berat hati, aku menarik koper perlahan-lahan keluar rumah. Sebuah mobil travel telah menunggu di depan rumahku. Aku menoleh ke belakang, ada bayangan seseorang yang perlahan-lahan mendekatiku, itu ibu. Wajahnya terlihat pucat sekali. Aku mengerti mengapa ibu begitu sulit untuk melepasku, karena aku adalah anak tunggal mereka. Aku mengambil tangan ibu perlahan, kucium punggung tangannya begitu lama. Tangis kami pun tak terbendung, aku tak bisa menahan sedihku ini. Pelukannya begitu erat, seakan ia tak mau aku pergi seinci pun darinya. Dengan setengah berbisik ia berkata…..
“Hati-hati Nak”, hanya itu kata terakhir yang aku dapatkan dari ibu.
Akhirnya aku sampai juga di Jogja, sebuah kota besar dengan julukan kota pelajar. Aku mengerti mengapa ayah membuat keputusan seperti ini. Ayah ingin yang terbaik untukku, dan inilah awal perjalanan hidupku di Kota Yogjakarta.
Setelah melalui berberapa tes yang panjang, aku masuk ke SMAN Kusuma Yogyakarta. Sebenarnya pilihan pertamaku adalah SMAN Maju Jaya Yogyakarta, salah satu SMA terfavorit disana. Tapi apalah daya, setidaknya aku telah berusaha semaksimal mungkin dan disinilah aku seharusnya berada. Di Jogja, aku tidak memiliki satu pun sanak saudara. Begitu sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayah menitipkanku dengan anak temannya, aku memanggilnya mbak Indah, sebenarnya akupun tidak begitu mengenalnya.. Kami tinggal dalam satu kos tapi berbeda kamar. Setelah berberapa hari, akhirnya ayah kembali ke Makassar.
Hari ini adalah hari ketiga semenjak aku masuk sekolah. Aku belum memiliki sepeda motor. Jadi seperti hari-hari sebelumnya, mbak Indah mengantar jemputku ke sekolah. Ketika itu, ibu mbak Indah datang dari Makassar, dengan ucapan sinis ia berkata,
“Aduhhh…enggak usah ngerepotin orang lain bisa kan? Kamu kan bisa naik trans jogja.”
Aku juga merasa tidak nyaman dengan tatapan ibu mbak Indah, akhirnya aku putuskan untuk naik TJ, panggilan akrab Trans Jogja, menuju sekolah. Tidak begitu sulit untuk sampai di sekolah, karena kebetulan haltenya tepat berada di depan sekolahku.
Akhirnya tiba juga waktu untuk pulang, aku tidak boleh merepotkan orang lain. Jadi kuputuskan untuk naik TJ lagi. Aku mencoba membuka mata perlahan, setelah kulirik keluar jendela, ternyata telah gelap! Aku mulai panik sendiri, ternyata aku ketiduran! air mataku mulai menetes perlahan. Aku baru sadar kalau TJ telah kosong! Hanya ada aku dan supirnya. Aku mencoba menelpon Shinta, sabahat baruku di sekolah. Aku bertanya padanya tentang jalur TJ ini. Tapi sia-sia saja, Shinta tidak menjawab smsku. Supirnya pun sadar akan keberadaanku, dengan nada lembut ia bertanya alamatku, dengan isak tangis yang tidak kunjung berhenti juga, akupun menjelaskan alamatku. Akhirnya supir TJ itu mengantarkanku sampai di kos.
Malam itu aku menelpon ibu, aku ingin bercerita banyak padanya. Sudah empat hari ini aku tidak menghubunginya. Setelah tersambung….
“Iya? Kenapa?”, nada suara ibu begitu dingin.
“Ibu, aku mau cerita”, ucapku pelan.
“Cerita saja”,jawabnya singkat.
Akhirnya aku menceritakan pengalamanku hari itu. Nada suara ibu cukup cemas setelah mendengar ceritaku.
“Bu, aku boleh minta dikirimkan motor? Aku enggak mau ngerepotin orang lagi”,pintaku memohon.
“Kalau kamu perlu apa-apa disana jangan minta sama ibu! sama ayah kamu sana!” aku tidak menyangka ibu akan memberika jawaban sedingin itu. Ibu ternyata masih marah padaku. Ia bilang, kalau aku memerlukan apapun di Jogja, harus minta pada ayah, bukan ibu. Setiap malam aku selalu menangis, aku merasa sendirian, aku tidak memiliki siapa-siapa disini. Ibu juga tidak pernah menghubungiku jika tidak aku yang menghubunginya terlebih dahulu. Padahal aku dan ibu begitu dekat, sangat dekat. Pernah sampai 2 minggu kita tidak berhubungan sama sekali.
Hal ini mebuatku larut dalam kesedihan yang panjang. Tapi aku bertekat pada diri sendiri, aku akan membuktikan pada ibu bahwa keputusanku untuk tetap disini adalah yang terbaik. Setelah satu semester, aku mendapat juara 2 pararel di sekolah. Tapi dengan prestasiku itu,ibu masih saja dingin padaku. Akhirnya satu tahun berlalu, aku mulai mendapat prestasi yang lebih banyak. Aku memenangkan juara 1 menulis se-DIY, juara 2 speech contest se-DIY, juara 3 menulis bebas se-DIY, menjadi siswi pertukaran pelajar mewakili kota Jogja dan maju sebagai peserta Olympiade Sains tingkat Nasional . Dan akhirnya usahaku selama setahun menuntut ilmu disini tidak sia-sia, ibu mulai melunak, dan tidak jarang meneleponku duluan walau hanya untuk menanyai kabar. Aku sangat senang! Akhirnya ibu bisa menerimaku kembali seperti dulu.
Ibu, aku tau. Keputusanku setahun lalu untuk pindah ke Jogja membuatmu kalut dan bersedih. Kau tidak ingin jauh dariku kan? Sejak kecil, aku selalu ada dalam buaianmu. Walaupun awalnya kau sulit menerima kepergianku, tapi rasa sayang tulus darimu memang tidak dapat kau sembunyikan bu. Walau diluarnya kau terlihat marah padaku, tapi aku tau….. di dalam hatimu, kau tak pernah henti-hentinya mendokanku di sini. Aku pun tahu, kesuksesanku selama ini tak luput dari doamu. Aku sayang ibu.

(ASNIAR XI IPA 1)

0 komentar: